Menjelang tahunbaru, saya ingat persisnya, karena hari itu untuk pertamakali saya memulaiperjalanan yang seharusnya saya mulai lama sebel...
Menjelang tahunbaru, saya ingat persisnya, karena hari itu untuk pertamakali saya memulaiperjalanan yang seharusnya saya mulai lama sebelumnya, sebagai penulis: melihat realitas dari dekat.
Setelah mendapat izin, saya berkesempatan melihat sisi lain Jakarta yang sebetulnya saya tahu memang ada, dan tak asing. Hanya saja saya memang belum pernah melihat dari dekat.
Saya melalui daerah Bongkaran tanah abang, melihat gubuk-gubuk di sisi kiri rel kereta api, rumah-rumah minum, dan tempat yang biasa digunakan untuk pelacuran. Menyadari betapa berbedanya apa yang saya lihat dengan situasi yang saya bayangkan hanya dari riset pustaka. padahal saya telah menulis tentang daerah bongkaran tanah abang itu, beberapa tahun sebelumnya, dan buku itu telah dicetak ulang sembilan kali (maafkan saya, pembaca).
Dari Bongkaran saya melanjutkan perjalanan ke Kalijodo (belakangan catatan perjalanan ini menjadi bahan yang memberi saya energi lebih ketika menulis Ada Rindu di Mata Peri), melihat sendiri bagaimana suasana perjudian yang besar di sana, yang saking besarnya, siapapun akan bisa berpikir, bagaimana aparat bisa tak melihat?
Dari sana saya berjalan ke daerah Rawa Bebek, Penjaringan. Dengan negosiasi yang alot sebelumnya, alhamdulillah saya akhirnya dibolehkan ngobrol dengan seorang pelacur di kamar sempit yang biasa dipakai. Sampai sekarang saya masih terbayang tatapan-tatapan pengunjung dan karyawan di sana, ketika sosok berjilbab saya melewati mereka. Kontras betul dengan suasana yang hingar bingar dengan musik dangdut, dan kerlip lampu dari warung minum, juga berpasang-pasang anak manusia yang mojok.
Begitulah, dalam perjalanan pulangnya, saya diajak oleh seorang teman untuk berjalan menyusuri rumah-rumah di kolong jembatan. Sesekali dia mengingatkan saya untuk menahan mata saya agar tak terlihat begitu kaget dan ingin tahu, setiap kali melihat pintu-pintu yang terbuka. Suasana yang gelap, bisa saya bayangkan tanpa jendela-jendela yang menampung matahari, meskipun suasana siang dan matahari sedang garang-garangnya. Sebab jalanan di atas mereka menutup cahaya apapun, kecuali bagi yang tinggal agak keluar. Saya perih, melihat lantai tanah mereka, perih melihat tiang-tiang beton, menjadi bagian dari rumah, dan dinding tempat bersender. Saya perih dan ingin menangis.
Sungguh tak terbayang, bagaimana mereka bisa hidup seperti itu?
Begitulah, lalu saya sampai di sebuah lokasi di pasar, tak jauh dari kolong jembatan. Sebidang tanah yang dibuat kios ala kadarnya, dan disewakan lalu dananya dipakai untuk menyantuni anak-anak yatim yang dikelola FOJIS (Forum Pengajian Subuh) sejak lama. Tanah di atas kios itu berukuran 3 x 2.5 meter. Bagian depannya yang harusnya los, sudah tertutup dipakai orang lain. sewa sebentar lagi usai, dan itu artinya tanah itu akan menjadi tempat terbuka untuk berjudi.
"Tanah ini diberikan ke anak-anak FOJIS untuk dimanfaatkan, ingin sekali bisa membangun perpustakaan di sini. Dulu kami dari FOJIS pernah berniat memanfaatkan mesjid untuk perpustakaan, tapi terbentur oknum mesjid yang tidak amanah. Barang-barang baru dari donatur untuk keperluan perpustakaan diambil, dan kami diberikan yang lama. Begitupun soal uang." ujar teman saya tersebut.
Saya memandang tanah di hadapan saya, terbayang sosok pelacur yang tadi saya temui, lalu wajah-wajah lain berprofesi serupa, lipstick mereka, pakaian mereka, tawa mereka... gadis-gadis muda itu hanya berjarak 200 meter dari situ. Saya terusik dengan anak-anak berusia sekolah dasar, beberapa masih sangat kecil, mungkin hanya 6 atau 7 tahun, tapi terlihat asyik main di judi, di jalan-jalan sekitar. Lalu mesin-mesin judi yang besar dan diletakkan di beberapa tempat di pasar? Hati saya nyeri lagi, tempat ini terlalu gelap...
Saya tak memiliki apa-apa. Tapi saya tahu teman-teman di Forum LIngkar Pena sedang menggagas berdirinya Rumah Cahaya, memanfaatkan rumah wakaf Dompet Dhuafa yang dipinjamkan kepada FLP untuk bisa dijadikan Rumah Baca dan Hasilkan Karya (Rumah Cahaya). Artinya niat teman-teman FOJIS tidak sendiri.
Tapi FLP pun organisasi yang meski besar, namun bisa dibilang sangat miskin dana. Mereka akan membantu, saya tahu persis itu, tapi tetap saja diperlukan dana cukup besar untuk membangun perpustakaan.
Dan sepanjang jalan pulang, saya terus terbayang pemandangan sekitar yang saya lalui. Seandainya saja bisa berdiri sebuah rumah cahaya di sana, maka insya allah akan benar-benar menjadi cahaya bagi sekitar yang pekat maksiat. Bisakah?
Saya tak punya apa-apa. Tapi saya punya teman-teman FLP, juga teman-teman FOJIS, yang melihat dari lamanya mereka mengurusi anak-anak yatim di sana, dan keseriusan mereka, saya tahu mereka akan amanah untuk mengelola. Saya juga tahu, saya punya Allah.
Dalam perjalanan pulang, saya sampaikan kepada teman saya tersebut, meluncur begitu saja: "Kita akan bangun rumah cahaya di Penjaringan."
Saya tak punya dana besar. Teman-teman saya juga tidak. Tapi saya tahu, Allah bersama setiap niat baik. Insya allah. (Asma Nadia, bersambung)
COMMENTS