karya https://www.facebook.com/kelinci.kecil.393?hc_location=stream Suatu malam seorang pria asing bertamu ke rumah kami. Kira-kira u...
karya
Suatu malam seorang pria asing bertamu ke rumah kami. Kira-kira umurnya sama denganku, sekitar 24 tahun. Kupersilahkan dia masuk. Setelah dia duduk, aku langsung ke belakang untuk memanggil abah dan membuatkan minuman serta membawa beberapa toples cemilan.
Setelah sedikit berbasa-basi akhirnya pria itu mengutarakan maksud kedatangannya."Nama saya Dahlan. Kedatangan saya kemari hendak bertemu dengan mbak Nurmala." Tutur pria itu dengan sopan dan santun."Lantas kalau sudah ketemu, mau ada perlu apa dengan anak saya?" Abah bertanya penuh rasa penasaran. Sama penasarannya denganku."Saya telah diberi amanat oleh guru saya untuk memberikan titipan ini kepada mbak Nurmala." Jawabnya sembari menyodorkan sebuah kotak tua ke hadapanku."Apa ini?" Tanyaku"Silahkan mbak buka sendiri. Karena sejak diberikan, saya belum pernah sama sekali membukanya. Pun tak tahu apa isinya."
Dengan hati berdebar kubuka perlahan kotak itu."Hah... Ini kan..." Aku kaget bercampur heran melihat apa yang ada di dalam kotak itu.Di dalamnya terbungkus rapi oleh plastik bening, tumbuhan yang sudah kering dan berwarna coklat hampir rapuh. Sepertinya itu bunga. Ya... Memang bunga. Serangkai bunga tepatnya. Kurasa ini sudah bertahun-tahun umurnya.
Tapi sepertinya aku mengenal bunga ini. Ini bunga dariku. Bunga yang kukumpulkan di sepanjang jalan menuju sekolah. Kurangkai sedemikian rupa. Kuikat dengan tali seadanya. Dan kugantungkan pada slot pintu kamar seseorang sebagai bentuk kejahilanku.
Kala itu aku masih duduk di bangku kelas enam SD. Setiap habis sekolah aku dan teman-teman biasanya mengaji di sebuah madrasah. Guru kami bernama ibu Siti. Tapi karena beliau tengah hamil tua dan akan melahirkan, akhirnya tugas beliau digantikan oleh seorang pria yang tidak kami kenal. Kulitnya putih, matanya sipit seperti orang Cina. Dari bu Siti kudapati info kalau pria ini memang orang Cina. Umurnya sekitar 22 tahun. Dan dia seorang muallaf. Saat itu aku masih belum mengerti muallaf itu apa.
Singkat cerita, hari-hari di madrasah berlalu dengan belajar membaca, menulis dan menghafal Al-Qur'an. Menghafal adalah yang paling membuatku malas. Maklum masih anak-anak, terkadang di sela-sela pelajaran aku malah bermain. Tapi guruku ini sangat penyabar. Tak pernah marah saat aku bermain atau malas untuk menghafal. Dia hanya tersenyum dan bilang. "Tidak apa-apa kalau tidak mau."
Madrasahku ini terletak di antara rumah dan sekolah. Setiap berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki, madrasah ini pasti kulewati. Sebenarnya masih ada jalur lain yang tak perlu melewati madrasah, hanya saja jalannya lebih jauh dan agak memutar.
Menjelang ujian sekolah, khusus siswa kelas enam pengajian di madrasah diliburkan, karena harus mengikuti les tambahan di sekolah. Saat berangkat sekolah, pintu kamarnya itu terkunci. Mungkin sedang keluar. Kutengok kanan-kiri sepi. Ini kesempatan baik untuk melancarkan rencana jahilku. Kuambil rangkaian bunga yang tadi kukumpulkan di sepanjang perjalanan. Kuselipkan bunga itu di pintu kamarnya yang berada di belakang madrasah. Setelah selesai kulanjutkan perjalanan menuju sekolah sambil cekikikan membayangkan wajah kaget guruku ketika melihatnya nanti.
Seminggu kemudian ketika pulang dari sekolah aku dikagetkan oleh panggilan guru ngajiku."Mala sini!" Pintanya."Ada apa ustadz?" Tanyaku penasaran."Kamu lihat ini." Dia menunjukan sesuatu yang tergantung di belakang pintu kamarnya. Bunga itu... Aku tertunduk malu. Rupanya dia tahu aku pelakunya. Bagaimana bisa?"Terima kasih ya, bunganya bagus." Dia kembali menunjukan senyum khasnya. Senyum yang tulus.Aku malu, tak bisa berkata apapun. Hanya sesungging senyum yang kutunjukan. Kemudian pamit pulang sambil berlari. Malu... Malu... Malu...
Serangkai Bunga Kering3
Entah perasaanku saja atau memang iya. Sejak kejadian itu guru ngajiku ini jadi sering memperhatikanku. Selalu tersenyum manis kala aku datang. Biasanya juga begitu. Tapi sekarang rasanya agak berbeda. Senyumnya berbeda. Ahh... Aku tak mengerti.
Sudah lima hari ini aku tak masuk sekolah ataupun mengaji karena sakit. Teman-teman sekolah menengokiku siang itu. Sore harinya giliran teman ngaji, tak lupa guru ngajiku ikut menengok. Setelah beberapa lama akhirnya teman-temanku itu pulang. Tapi anehnya guru ngajiku tetap tinggal. Entah apa yang dibicarakannya dengan abah dan umi. Karena setelah itu aku tertidur.
Besok paginya karena penasaran, aku bertanya kepada umi. "Kenapa pak ustadz pulang terakhir dan apa sebenarnya yang dibicarakan dengan abah dan umi?""Dia menceritakan asal-usulnya pada kami. Jadi dia itu adalah seorang muallaf. Artinya orang yang baru masuk Islam." Jelas umi, melihat ekspresi mukaku saat mendengar kata muallaf."Dia tidak punya siapa- siapa disini. Dia diusir oleh keluarganya setelah mengetahui keinginannya memeluk agama Islam." Umi melanjutkan."Padahal keluarganya itu adalah pengusaha yang kaya raya dan terpandang. Namun demi agama barunya, dia rela meninggalkan itu semua." Aku hanya terdiam menyimak cerita umi."Nama aslinya Chao Liang. Setelah masuk Islam, namanya diganti menjadi Nur Hasan. Itu pemberian guru tempat ia mesantren di Bogor." Umi menjelaskan panjang lebar."Oh... Begitu ya umi?""Iya Mala. Ada satu hal lagi." Umi menghentikan bicaranya sejenak."Apa itu umi?""Dia ingin melamarmu."
Deg"Hah? Melamar umi? Maksudnya dia ingin menikahi Mala? Tapi Mala kan masih kecil umi."Aku kaget bukan kepalang mendengar kata-kata umi barusan."Tentu tidak sekarang sayang... Dia akan menunggu sampai kamu cukup dewasa untuk menikah. Itu masih lama sayang." Ucap umi sambil mengelus lembut kepalaku.
Aku berontak."Pokoknya Mala gak mau..." Aku berlari masuk ke kamar dan menguncinya. Aku menangis sesegukan. Menikah? Bahkan lulus SD saja belum. Cinta itu apa saja aku tak mengerti. Bagaimana bisa dia ingin menikahiku? Apa karena bunga itu? Aku hanya bercanda. Hanya ingin menjahilinya.
Aku bersikeras tak ingin mengaji disana lagi. Aku takut bertemu dengannya. Untuk berangkat sekolahpun kupilih jalur lain yang memutar dan lebih jauh. Biarlah. Asalkan tak bertemu dia, aku tak keberatan meskipun harus berangkat lebih pagi.
Sudah dua minggu aku tak mengaji disana lagi. Abah dan umipun tak bisa berbuat apa-apa. Sampai suatu sore, ketika tengah bermain di halaman rumah, aku kaget melihat ustadz Hasan berjalan menuju rumahku. Aku segera lari masuk rumah dan bersembunyi di kamar mandi, menangis.
"Mala... Buka pintunya nak. Itu ada pak ustadz mau ketemu kamu." Ujar umi sambil mengetuk pintu kamar mandi."Mala gak mau umi... Mala gak mau ketemu dia." Jawabku sambil menangis. Umi berhenti mengetuk pintu dan melangkah pergi.
Aku masih menangis di kamar mandi. Tak terbayangkan olehku, harus menikah diusiaku yang masih sangat belia. Aku tak mau...
"Mala, keluar nak. Pak ustadznya sudah pulang kok." Umi mengetuk pintu lagi."Benar umi?""Iya. Sekarang kamu keluar ya."Kubuka pintu dan berhambur memeluk umi sambil menanis sesegukan. "Sudahlah Mala. Kalau kamu tidak mau, kami juga tidak memaksa." Tangan umi membelai lembut kepalaku. Membuatku agak tenang. "Tadi ustadz Hasan kemari untuk pamit kepada kita. Terutama kamu. Dia mau kembali ke Bogor, kepesantrennya."Aku berhenti menangis. "Dia pergi umi?""Iya nak."
Aku jadi merasa bersalah. Apakah aku yang menyebabkan dia pergi? Berarti sekarang kami tak akan bertemu lagi? Ada perasaan menyesal yang bersarang di hatiku.
Bersambung
Serangkai Bunga Kering (4)
Setelah lulus aku SMP, kami sekeluarga pindah ke Bandung. Kota kelahiran abah. Kami tinggal bersama nenek yang tinggal sendirian semenjak kakek meninggal. Aku melanjutkan sekolahku ke Madrasah Aliyah dan tinggal di asrama putri. Sebulan sekali aku pulang.Di sekolah ini aku mengikuti banyak kegiatan. Dari mulai ekskul di sekolah dan kegiatan-kegiatan lain di asrama. Setiap habis subuh kami mengikuti pengajian kemudian sekolah. Sepulang sekolah kami disibukkan dengan mengajar adik-adik TPA untuk belajar membaca dan menulis serta menghafal Al-Qur'an. Kegiatan yang sangat kusukai. Aku memang bercita-cita menjadi guru suatu saat nanti. Semoga.
Akhir pekan itu sepulang sekolah, teman sekelasku Widi mengajakku ke rumahnya. Rumahnya tak begitu jauh dari sekolah, cukup sekali naik bus langsung sampai. Makanya seminggu sekali dia pulang. Setelah meminta izin kepada kepala asrama, akhirnya kami berangkat.
Bus yang kami tumpangi penuh sesak dengan penumpang. Kami bahkan sampai tidak kebagian tempat duduk. Matahari yang teriknya sampai ke ubun-ubun membuat kami bermandi peluh. Gerah. Rasanya ingin cepat-cepat sampai saja. Segelas air dingin pasti dapat menghilangkan panas di tenggorokanku. Aku menelan ludah.
Belum lagi pengamen dan pedagang asongan yang tak segan menerobos jejeran penumpang yang sedang berdesakan. Hufff... Aku menyeka keringat yang berbulir di keningku sedari tadi. Satu persatu penumpang mulai turun. Akhirnya aku dan Widi mendapat tempat duduk di bangku paling belakang dekat pintu keluar. Ahh akhirnya.
Tiba-tiba mataku menangkap suatu sosok. "Masya Allah..." Aku kaget melihat salah satu pedagang asongan itu. Mata sipit itu, kulit putihnya kini agak menggelap karena sering terkena terik mentari. Di wajahnya kini dapat kulihat gurat-gurat halus tanda usianya yang makin bertambah. Tapi senyum tulusnya itu masih tetap sama. Ya dia. Ustadz Hasan. Guru ngajiku dulu. Tapi apa yang dilakukannya disini? Mengapa dia jadi pedagang asongan? Bukankah dia di Bogor?Pertanyaan itu bertubi-tubi mendatangi otakku. Aku tak tega melihatnya begini. Mengapa hidupnya sekeras ini? Ini salahku! Gara-gara aku! Ada rasa sakit yang teramat di hatiku melihat keadaanya sekarang. "Permennya teh, gunting kuku, tissue," Suara itu membuyarkan lamunanku. Tanpa kusadari dia sudah berada di depanku dan menawarkan barang dagangannya. Aku hanya diam mematung tak sepatah katapun keluar dari mulutku. "Tidak pak, terima kasih." Jawab widi yang duduk di sebelahku. Pria itu kembali tersenyum. Senyum yang sama dengan waktu dulu. Senyum yang kurindukan.
Sampai di persimpangan, satu persatu para pengamen dan pedagang asongan turun. Kenapa dia tak berkata apa-apa? Apakah dia tak mengenaliku? Mataku memerah, bulir air mata seakan menerjang ingin keluar. "Mala, kamu kenapa?" Tanya Widi."Gak apa-apa Wid, cuman kelilipan kok." Jawabku sambil berpura-pura mengucek mataku.
Aku sedih sekaligus gembira. Entah kenapa setelah bertemu dengannya waktu itu, aku jadi ingin selalu bertemu lagi, lagi dan lagi. Perasaan apa ini? Mungkinkah kini aku mulai menyukainya? Bukankah dulu aku begitu bersikeras menolaknya? Ah sudahlah.Tapi bagaimana jika dia sekarang sudah menikah? Tidak! Jangan sampai!
Sejak saat itu berkunjung ke rumah Widi menjadi agenda rutinku setiap minggu. Tentu saja alasannya agar aku bisa bertemu lagi dengan ustadz Hasan. Biarpun sepertinya dia masih tak mengenaliku. Tapi tak apa. Bertemu dengannya saja aku sudah cukup senang.
Apapun yang ditawarkannya padaku pasti kubeli. Permen, air mineral, gunting kuku, tissue. Sampai-sampai Widi dibuat heran oleh tingkahku yang satu ini."Mala, gunting kuku kamu kan udah ada empat. Kok kamu masih beli lagi?" Tanya Widi setelah kubayar sebuah gunting kuku berwarna hijau. "Yang ini warnanya hijau, aku kan belum punya yang warna hijau." Jawabku sekenanya. "Hmm... Kamu tuh aneh. Masa gunting kuku aja harus ada semua warna? Fungsinya kan sama." Widi sampai geleng-geleng kepala. Aku terkekeh melihat temanku ini.
Minggu depannya aku kembali mengunjungi rumah Widi. Keluarganya sangat baik. Mereka menerimaku dengan baik dan memperlakukanku seperti keluarga sendiri. Tapi kali ini tak kutemui ustadz Hasan di dalam bus. Pun begitu di minggu-minggu selanjutnya. Dia tak pernah muncul. Hilang bak ditelan bumi. Aku mulai merasa kehilangan.
Sampai akhirnya aku lulus sekolah. Widi melanjutkan kuliah di Semarang. Sejak saat itu aku tak lagi berkunjung ke rumah widi. Dan benar-benar tak pernah bertemu dengan ustadz Hasan lagi.
Serangkai Bunga Kering (5)
Aku diterima mengajar di sebuah Sekolah SMP Swasta setelah lulus kuliah, sebagai guru honorer. Umurku kini sudah 24 tahun. Hampir semua teman seangkatanku sudah menikah, kecuali aku. "Kapan nikah?" Pertanyaan yang sudah akrab di telinga ini kerap kali membuatku risau. Bukannya tak ingin, tapi memang belum saja.Mungkin Allah sedang merencanakan hal lain buatku.
Sampai tiba saatnya malam ini. Seorang pria datang dengan membawa kotak berisi bunga kering ini. Mungkinkah benar ini dari dia? Ustadz Hasan? Rasa ingin tahu menghinggapi benakku."Kalau boleh tahu, nama guru Mas Dahlan ini siapa?" "Nur Hasan."
Deg
"Beliau adalah guru Mbak dulu, kalau tidak salah."Tidak salah lagi, itu memang dia."Lalu dimana beliau sekarang?" tanyaku dengan mata berbinar.Mendengar pertanyaanku, tiba-tiba raut wajah Dahlan berubah murung, ia menundukan kepalanya. Hening sejenak.Setelah menghela nafas panjang, akhirnya dengan suara parau dia berkata. "Beliau sudah berangkat menghadap Allah." Ucapnya lirih. "Beliau meninggalkan saya." Lanjutnya lagi. "Dan sebelum kepergiannya, beliau menitipkan ini kotak ini untuk diserahkan pada Mbak."Bagai petir yang menyambar. Kabar itu begitu menyakitkan buatku. Benarkah ini? Pria yang kucintai dan kuharapkan menjadi imamku sudah meninggalkanku selama-lamanya. Bahkan aku belum sempat meminta maaf atas kelakuanku padanya dulu. Dan mengatakan bahwa betapa kini aku mencintainya. Air mataku meleleh tak dapat kubendung lagi.
Setelah menenangkan diri dan menghapus air mataku, aku bertanya lagi."Lalu dimana beliau dimakamkan? Saya ingin menziarahinya.""Makam? Makam siapa yang Mbak maksud?" Tanya Dahlan sambil mengernyitkan dahi."Ya makamnya Ustadz Hasan. Bukankah barusan Mas bilang beliau sudah meninggal? Saya mau mau tahu dimana beliau dimakamkan?""Sebentar Mbak, kapan saya bilang beliau meninggal?""Lho, bukannya tadi Mas bilang kalau beliau sudah menghadap Allah. Itu artinya meninggal bukan?" "Maaf sepertinya Mbak salah faham. Maksud saya itu, berangkat menghadap Allah ke Tanah Suci. Beliau sedang melaksanakan ibadah Umroh." Alhamdulillah... Rupanya aku salah faham. Dia belum meninggal."Tapi kenapa tadi Mas sedih saat saya tanyakan keberadaan beliau?" Tanyaku.Dia tersenyum malu."Oh itu? Soalnya saya sedih. Karena tidak bisa ikut bersama beliau. Padahal biasanya kemanapun beliau pergi saya selalu ikut serta. Beliau sudah seperti kakak saya sendiri."Rona senyum terlukis di wajahku meski dengan mata sembab."Dan..." Dahlan melanjutkan. "Selain mengantarkan kotak ini, saya juga diutus beliau untuk menyampaikan sesuatu." "Apa itu?" Tanya Abah yang sedari tadi menyimak pembicaraan kami."Beliau ingin melamar Mbak Mala." Kata Dahlam membuatku tersentak."Jika Mbak berkenan, Insya Allah sepulang Umroh nanti beliau akan kemari untuk mengkhitbah Mbak Mala."Alhamdulillah Ya Allah...Kupeluk Abah sambil menangis tersedu. "Abah... Mala mau dilamar Bah..." Tangisku pecah."Jadi sekarang gak akan nolak lagi kan, kalau dilamar Ustadz Hasan." Ujar Abah, menggodaku.Aku menggeleng sambil menunduk. "Nggak Bah."Malam ini aku sungguh bahagia. Pria yang kudamba akan segera meminangku.
Benar saja, sepulang dari Tanah Suci, Ustadz Hasan datang ke rumah untuk mengkhitbahku. Hari pernikahan ditentukan hari itu juga, yakni satu bulan mendatang. Pernikahan kami digelar secara sederhana namun berlangsung khidmat.
COMMENTS