Isa Alamsyah Setiap penulis mengalami pasang surut dalam karirnya, dan salah satu tantangan yang mungkin dihadapinya adalah ditertawakan,...
Isa Alamsyah
Setiap penulis mengalami pasang surut dalam karirnya, dan salah satu tantangan yang mungkin dihadapinya adalah ditertawakan, karyanya dilecehkan atau dianggap tidak punya isi.
Ketika Asma Nadia menyelesaikan cerpen pertamanya saat SMP, dengan antusias gadis itu menujukkan karyanya kepada pelatih teater yang dianggap sebagai salah satu guru seninya.
Dengan ringan sang pelatih berkata, “Cerpen kamu picisan, biasa. Kamu bisa lebih bagus darti itu!”
Wajah antusias sang penulis langsung pudar berubah jadi rendah diri> butuh waktu cukup lama untuk memulihkan kepercayaan dirinya bahwa ia bisa menulis. Tapi kini lebih dari 50 buku dengan jutaan eksemplar sudah terjual di pelosok nusantara.
Ketika saya menulis cerpen pertama, karya saya menjadi bahan tertawaan Helvy Tiana Rosa. Ketika menulis cerpen lainnya, kembali jadi tertawaan sulung Putri Salsa dan istri Asma Nadia. Tapi itu tidak membuat saya berhenti menulis.
Ketika Dyan Nuranindya menyelesaikan novel pertamanya, ia meminta teman-teman SMA-nya untuk membaca dan menilai novelnya. Tapi teman-temannya sangattidak antusias.
“Gue novel yang dijual di toko buku aja malas baca, apalagi tulisan elo!” Begitu kira-kira anggapan mereka.
“Gue novel yang dijual di toko buku aja malas baca, apalagi tulisan elo!” Begitu kira-kira anggapan mereka.
Tapi apakah Dyan menyerah? Tidak, ia tetap menyempurnakan tulisannya dan mencoba peruntungan untuk memasukkan karyanya ke penerbit.
Hasilnya? Novel pertamanya yang berjudul Dea Lova menjadi salah satu TeenLit (tulisan genre remaja) paling laris, terjual 100 ribu eksemplar dalam tahun pertama penjualannya.
Hasilnya? Novel pertamanya yang berjudul Dea Lova menjadi salah satu TeenLit (tulisan genre remaja) paling laris, terjual 100 ribu eksemplar dalam tahun pertama penjualannya.
Ditertawakan, dilecehkan, dianggap rendah, adalah salah satu bagian dari proses dalam menghasilkan karya tulis, jadi tidak perlu rendah diri atau malu jika karya tulisan kita jadi bahan cemoohan.
Sayangnya banyak penulis akhirnya memilih berhenti berkarya karena ditertawakan, hingga akhirnya tidak mempunyai karya lagi dan mengabaikan mimpi,atau kecintaan dalam kepenulisan.
Lebih buruk lagi ada yang kalah sebelum bertanding, menyerah sebelum berperang. Mereka tidak berani memajukan karyanya ke publik karena takut ditertawakan sehingga tidak bisa mengevaluasi pencapaiannya.
Kita tidak tahu dimata Tuhan siapa yang salah di akhirat nanti, apakah yang menertawakan sehingga membuat orang berhenti bermimpi atau yang ditertawakan dan cepat menyerah. Tapi saya tahu satu hal pasti, yang rugi di dunia ini adalah yang menyerah.
Orang bebas mencemooh atau menertawakan tapi kita yang menentukan sendiri bagaimana masa depan akan dijalani. Kita bisa memilih menyerah dan berhenti ketika ditertawakan, atau kita bangkit dan bangun rasa dendam positif dan berkata: suatu saat akan saya buktikan, saya yang akan tertawa.
Hidup itu pilihan dan kita yang memutuskan arahnya.
COMMENTS