REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia Beras habis! Beras hilang! Beras Mahal! Rasanya aneh jika di negara yang mayoritas penduduknya adalah pem...
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia
Beras habis!
Beras hilang!
Beras Mahal!
Rasanya aneh jika di negara yang mayoritas penduduknya adalah pemakan nasi, beras bisa habis dan sulit dicari dimana-mana.
Kebutuhan beras terukur setiap hari, setiap minggu, setiap bulan. Dengan metode yang paling sederhana pun kebutuhan sebagian besar masyarakat Indonesia akan beras sebetulnya bisa dihitung, sebab beras merupakan hal pokok yang nyaris tak bisa ditinggalkan.
Beras bukan kebutuhan yang bersifat insidentil, pun bukan kebutuhan musiman, bukan pula barang yang susah didapat jika Pemerintah sejak awal memiliki niat baik untuk memenuhi kebutuhan ril rakyatnya.
Dalam keadaan normal, seharusnya semua bisa dideteksi dan diantisipasi.
Tidak mungkin ada peningkatan drastis atas kebutuhan beras karena sifat konsumsinya. Lalu bagaimana mungkin beras bisa habis dan sulit dicari di mana-mana?
"Ada kok, masih banyak yang jual!" kata seseorang yang ingin menyanggah hilangnya beras dari pasaran.
Ya, memang ada. Tapi tidak dengan harga normal. Melainkan dengan harga persediaan terbatas.
Kejadian ini mengingatkan saya pada pelajaran di Sekolah Dasar yang sangat umum yaitu tentang kebutuhan dasar manusia.
"Kebutuhan dasar manusia dibagi menjadi tiga bagian, sandang, pangan dan papan. Sandang adalah pakaian, pangan adalah makanan dan papan adalah rumah," kata guru SD saya suatu hari.
Setelah saya pikir-pikir, sebenarnya urutan berdasarkan prioritas yang benar adalah Pangan, Sandang, Papan.
Jadi jelas pangan merupakan kebutuhan utama.
Jika diurutkan lagi maka dalam pangan ada macamnya.
Makanan pokok dan lauk pauk.
Makanan pokok harus ada, lauk pauk bisa diabaikan jika terpaksa.
Makanan pokok, buat sebagian besar bangsa Indonesia berarti beras.
Singkatnya dari semua kebutuhan manusia indonesia, kebutuhan paling mendasar adalah beras.
Papan? Rakyat Indonesia bisa tinggal di mana mereka tinggal sekarang.
Sandang? Manusia indonesia bisa pakai baju yang mereka pakai sekarang,
Tapi begitu tidak ada beras? Jelas masalah besar.
Beras berbeda dengan papan dan sandang, bukan kebutuhan yang bisa dipakai ulang. Sekali habis harus ada persediaan baru.
Beras adalah kebutuhan mendasar yang harus menjadi perhatian utama penyelenggara negara.
Idealnya swasembada beras. Jika tidak, cukup buka keran impor sambil tetap memperjuangkan swa sembada. Jika sampai beras saja bisa terabaikan, bisa menjadi indikasi akan banyak hal lain yang terabaikan.
Kelangkaan beras harus menjadi perhatian penuh pemerintah, karena menyangkut kebutuhan dasar.
Operasi pasar harus disikapi sebagai langkah darurat dan sementara saja, bukan dan tidak bisa dijadikan kebijakan andalan –apalagi sekedar cari simpati dan jaga imej- setiap kali ada masalah beras.
Jika tata dagang beras terkontrol dengan baik tidak perlu ada operasi pasar.
Raskin? Sepertinya banyak masyarakat papa yang mengeluh beras raskin sangat kotor, menguning ketika dicuci dan keras ketika ditelan, dan yang lebih parah banyak mengandung kutu dan jamur yang jauh dari layak untuk dikonsumsi.
Mungkin kita lupa, perbedaannya masyarakat miskin hanya soal penghasilan yang lebih sedikit dari mereka yang mapan. Terkait lidah dan selera tetap sama. Meski tidak punya banyak pilihan tetapi jelas mereka bisa membedakan beras yang masih baik dan enak ketika dimakan atau tidak.
Dengan kata lain Bulog juga harus menjaga kualitas beras kita, jangan ditumpuk lama hingga rusak atau membeli asal-asalan. Semoga saja perhatian penuh pemerintah mampu memastikan hal memalukan ini (mengingat Indonesia pun negara agraris) tidak kembali terulang.
Beras habis!
Beras hilang!
Beras Mahal!
Rasanya aneh jika di negara yang mayoritas penduduknya adalah pemakan nasi, beras bisa habis dan sulit dicari dimana-mana.
Kebutuhan beras terukur setiap hari, setiap minggu, setiap bulan. Dengan metode yang paling sederhana pun kebutuhan sebagian besar masyarakat Indonesia akan beras sebetulnya bisa dihitung, sebab beras merupakan hal pokok yang nyaris tak bisa ditinggalkan.
Beras bukan kebutuhan yang bersifat insidentil, pun bukan kebutuhan musiman, bukan pula barang yang susah didapat jika Pemerintah sejak awal memiliki niat baik untuk memenuhi kebutuhan ril rakyatnya.
Dalam keadaan normal, seharusnya semua bisa dideteksi dan diantisipasi.
Tidak mungkin ada peningkatan drastis atas kebutuhan beras karena sifat konsumsinya. Lalu bagaimana mungkin beras bisa habis dan sulit dicari di mana-mana?
"Ada kok, masih banyak yang jual!" kata seseorang yang ingin menyanggah hilangnya beras dari pasaran.
Ya, memang ada. Tapi tidak dengan harga normal. Melainkan dengan harga persediaan terbatas.
Kejadian ini mengingatkan saya pada pelajaran di Sekolah Dasar yang sangat umum yaitu tentang kebutuhan dasar manusia.
"Kebutuhan dasar manusia dibagi menjadi tiga bagian, sandang, pangan dan papan. Sandang adalah pakaian, pangan adalah makanan dan papan adalah rumah," kata guru SD saya suatu hari.
Setelah saya pikir-pikir, sebenarnya urutan berdasarkan prioritas yang benar adalah Pangan, Sandang, Papan.
Jadi jelas pangan merupakan kebutuhan utama.
Jika diurutkan lagi maka dalam pangan ada macamnya.
Makanan pokok dan lauk pauk.
Makanan pokok harus ada, lauk pauk bisa diabaikan jika terpaksa.
Makanan pokok, buat sebagian besar bangsa Indonesia berarti beras.
Singkatnya dari semua kebutuhan manusia indonesia, kebutuhan paling mendasar adalah beras.
Papan? Rakyat Indonesia bisa tinggal di mana mereka tinggal sekarang.
Sandang? Manusia indonesia bisa pakai baju yang mereka pakai sekarang,
Tapi begitu tidak ada beras? Jelas masalah besar.
Beras berbeda dengan papan dan sandang, bukan kebutuhan yang bisa dipakai ulang. Sekali habis harus ada persediaan baru.
Beras adalah kebutuhan mendasar yang harus menjadi perhatian utama penyelenggara negara.
Idealnya swasembada beras. Jika tidak, cukup buka keran impor sambil tetap memperjuangkan swa sembada. Jika sampai beras saja bisa terabaikan, bisa menjadi indikasi akan banyak hal lain yang terabaikan.
Kelangkaan beras harus menjadi perhatian penuh pemerintah, karena menyangkut kebutuhan dasar.
Operasi pasar harus disikapi sebagai langkah darurat dan sementara saja, bukan dan tidak bisa dijadikan kebijakan andalan –apalagi sekedar cari simpati dan jaga imej- setiap kali ada masalah beras.
Jika tata dagang beras terkontrol dengan baik tidak perlu ada operasi pasar.
Raskin? Sepertinya banyak masyarakat papa yang mengeluh beras raskin sangat kotor, menguning ketika dicuci dan keras ketika ditelan, dan yang lebih parah banyak mengandung kutu dan jamur yang jauh dari layak untuk dikonsumsi.
Mungkin kita lupa, perbedaannya masyarakat miskin hanya soal penghasilan yang lebih sedikit dari mereka yang mapan. Terkait lidah dan selera tetap sama. Meski tidak punya banyak pilihan tetapi jelas mereka bisa membedakan beras yang masih baik dan enak ketika dimakan atau tidak.
Dengan kata lain Bulog juga harus menjaga kualitas beras kita, jangan ditumpuk lama hingga rusak atau membeli asal-asalan. Semoga saja perhatian penuh pemerintah mampu memastikan hal memalukan ini (mengingat Indonesia pun negara agraris) tidak kembali terulang.
COMMENTS