oleh: Isa Alamsyah Dalam sebuah launching, Asma Nadia diundang sebagai panelis yang diminta untuk mengkritisi karya salah seorang penuli...
oleh: Isa Alamsyah
Dalam sebuah launching, Asma Nadia diundang sebagai panelis yang diminta untuk mengkritisi karya salah seorang penulis novel yang baru saja menelurkan novel pertamanya.
Sekalipun secara sekilas karya novel tersebut bisa dikatakan bagus, tetapi ada kekurangan yang menyolok terhadap novelnya.
Apa kekuarangannya?
Hampir semua tokoh dalam novel tersebut cerdas, berwawasan, dan kritis.
Kok bisa?
Ternyata, latar belakang sang pengarang adalah pemikir yang memang dikenal cerdas. Ia juga wartawan handal di media ternama, dan ketika mahasiswa ia dikenal sebagai konseptor yang cemerlang.
Nah masalahnya, seluruh keunggulan pribadi si penulis tersebut, tanpa sadar masukn dalam karakter tokohnya.
Ketika menggambarkan tokoh pembantu ruma tangga, ia menyajikan tokoh pembantu yang sangat cerdas, kritis dan berwawasan. Dialog yang keluar dari pembantu tersebut sangat berwawasan.
Ketika ia menulis tentang buruh, juga demikian. Buruhnya sangat cerdas, argumentatif dan berwawasan.
Ketika menuliskan kisah cinta suami istri juga keduanya sama-sama cerdas, sehingga dialog dan perdebatan antara keduanya sangat kaya pengetahuan.
Tanpa sadar penulis memasukkan dirinya ke semua karakter.
Karena itu ketika kita membuat sebuah karakter dalam tulisan, kita harus menjadi orang lain, harus menjiwai karakter tersebut sehingga pembaca percaya pada karakter yang kita ciptakan.
Mungkin kita adalah lulusan SMA, tetapi kalau sedang menulis tentang karakter seorang dokter, ya harus riset, sehingga apa yang kita tulis dan katakan benar-benar terasa seperti keluar dari mulut seorang dokter.
Jadi kita harus bisa menyesuaikan diri dengan sesuai kebutuhan karakter, itu berarti menurunkan keilmuan atau menaikkannya, dan mengatur emosi kita mengikuti karakter yang ada.
COMMENTS