REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia Memberi nasihat adalah tugas orang tua kepada anaknya, guru terhadap murid, senior pada juniornya, yang tu...
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia
Memberi nasihat adalah tugas orang tua kepada anaknya, guru terhadap murid, senior pada juniornya, yang tua pada yang muda. Sekalipun bisa saja berlaku kebalikannya.
Nasihat disampaikan atas dasar apa yang dipercaya, tapi sayangnya banyak nasihat yang beredar di sekitar kita berisi petuah yang kelihatannya benar tapi bisa menyesatkan jika diterapkan secara buta.
Kalimat "Yang penting kaya jiwa daripada kaya harta" atau "Tidak perlu kaya yang penting bahagia" sekilas terkesan bijak, tapi bukankah nasihat ini mematikan kreativitas anak manusia untuk sukses dan berdaya. Bukankah seseorang bisa kaya harta dan kaya jiwa secara bersamaan, dan orang kaya juga bisa bahagia. Dalam sejarah Islam, setiap muslim bisa melihat buktinya antara lain dari peran Abu Bakar atau Abdurahman bin Auf dalam dakwah dengan menggunakan harta mereka.
Bahkan Rasulullah yang sering digambarkan begitu zuhud sebenarnya bukan tidak kaya, beliau memiliki akses keuangan yang luar biasa. Akses ekonomi yang memungkinkan Nabi SAW memerintah negara dan membiayai perang. Sang Nabi mungkin zuhud, tapi di saat bersamaan beliau mempunya kekuasaan ekonomi.
Nasihat lain yang mirip berbunyi, "Rezeki tidak kemana" atau "Memang Belum Rezeki"
Petuah seperti ini berpotensi membuat mereka yang gagal dalam bisnis tidak mengevaluasi kegagalannya, atau tidak menyelidiki kesalahannya dalam menjalankan usaha. Mereka tidur nyenyak dan tidak merasa bersalah karena yakin memang belum rezekinya.
Sekadar tidur nyenyak dan tanpa perasaan bersalah masih lebih baik. Namun di sisi lain dengan mengatakan belum rezeki saya, secara implisit bisa diartikan "saya gagal bisnis karena Allah" atau Tuhan menjadi tersangka atas kesalahan yang kita buat. Siapkah kita berhadapan dengan Allah jika selalu menyalahkan-Nya atas kegagalan pribadi?
Nasihat serupa sering terdengar terkait fenomena jodoh. "Kalau jodoh nggak kemana" atau "Memang bukan jodoh".
Mencari jodoh ada miripnya dengan upaya pemasaran. Bedanya yang kita promosikan ketika mencari pasangan hidup adalah kualitas diri sendiri. Bagaimana kita bisa meyakinkan calon pasangan bahwa kita adalah calon yang pantas.
Untuk sebagian besar pria, mencari pasangan hidup berarti harus meyakinkan calon bahwa mereka adalah figur pria bertanggung jawab, yang siap melindungi keluarga, dan mampu mencukupi kebutuhan istri dan anak-anak.
Bagi sebagian besar wanita, mencari pasangan hidup berarti harus meyakinkan calon bahwa mereka akan menjadi istri yang bisa mendukung karier suami, tidak menjadi beban, dan berpotensi sebagai ibu yang baik buat anak-anak kelak.
Bedanya dengan marketing, mencari jodoh adalah proses menjual dan membeli dalam satu paket. Kita di satu sisi melakukan branding atas diri sendiri, di sisi lain juga melihat dan menilai calon pasangan apakah memenuhi kriteria. Jadi tentu saja proses mencari jodoh jauh lebih rumit dari sekedar jual beli karena menyangkut komitmen dan
kebahagiaan seumur hidup.
Permasalahannya adalah ketika setiap kali kita gagal mendapatkan jodoh, jika mempercayai nasihat "jodoh tidak kemana" kita tidak akan mengevaluasi dan memperbaiki diri, atau tidak merasa perlu menyesuaikan kriteria.
Menurut saya, Allah menentukan jodoh yang tepat buat mukmin, tapi kita yang memilih. Jika salah pilih itu bukan salah Allah, jika pilihannya tepat, kita wajib mensyukurinya.
Banyak orang yang meninggal di usia tua dalam keadaan lajang. Apakah Allah tidak memberikan jodoh untuk mereka? Tentu saja bukan salah Allah. Coba evaluasi, seberapa kita menyiapkan diri dan berikhtiar. Berapa banyak keputusan yang selama ini diambil ketika seseorang mendekat, atau saat kita merasa ingin melakukan pendekatan, namun kemudian bimbang atau mundur dengan berbagai alasan. Setiap orang bertanggung jawab atas keputusan-keputusan yang dibuat, dan setiap keputusan memiliki konsekuensi yang harus ditanggung.
Nasihat lain yang juga sering sampai ke telinga kita adalah "Tuhan saja memaafkan." seringkali ditujukan kepada pihak yang menjadi korban kesalahan orang lain namun justru dituntut untuk memberi maaf, kalau tidak maka justru terkesan salah.
Saya termasuk orang yang tidak mudah memaafkan orang lain kecuali dia menyertai permintaan maaf dengan komitmen untuk tidak mengulang kesalahan yang sama, atau setidaknya berusaha tidak melakukan kesalahan serupa.
Jika Tuhan jadi patokan, bahkan Tuhan yang maha pemaaf menyediakan tak hanya surga tapi neraka. Itu sebabnya ada penjara dan aturan hukum dalam agama. Karena kadang, untuk menyelesaikan suatu masalah maaf bukanlah jawabannya.
Sama-sama berusaha cermat memilih nasihat yang berseliweran di sekitar agar kita tidak melahap mutlak semua yang ditanamkan. Sebab jika kita tidak bijak memahami nasihat, pada akhirnya kita juga yang menanggung akibat buruknya.
Memberi nasihat adalah tugas orang tua kepada anaknya, guru terhadap murid, senior pada juniornya, yang tua pada yang muda. Sekalipun bisa saja berlaku kebalikannya.
Nasihat disampaikan atas dasar apa yang dipercaya, tapi sayangnya banyak nasihat yang beredar di sekitar kita berisi petuah yang kelihatannya benar tapi bisa menyesatkan jika diterapkan secara buta.
Kalimat "Yang penting kaya jiwa daripada kaya harta" atau "Tidak perlu kaya yang penting bahagia" sekilas terkesan bijak, tapi bukankah nasihat ini mematikan kreativitas anak manusia untuk sukses dan berdaya. Bukankah seseorang bisa kaya harta dan kaya jiwa secara bersamaan, dan orang kaya juga bisa bahagia. Dalam sejarah Islam, setiap muslim bisa melihat buktinya antara lain dari peran Abu Bakar atau Abdurahman bin Auf dalam dakwah dengan menggunakan harta mereka.
Bahkan Rasulullah yang sering digambarkan begitu zuhud sebenarnya bukan tidak kaya, beliau memiliki akses keuangan yang luar biasa. Akses ekonomi yang memungkinkan Nabi SAW memerintah negara dan membiayai perang. Sang Nabi mungkin zuhud, tapi di saat bersamaan beliau mempunya kekuasaan ekonomi.
Nasihat lain yang mirip berbunyi, "Rezeki tidak kemana" atau "Memang Belum Rezeki"
Petuah seperti ini berpotensi membuat mereka yang gagal dalam bisnis tidak mengevaluasi kegagalannya, atau tidak menyelidiki kesalahannya dalam menjalankan usaha. Mereka tidur nyenyak dan tidak merasa bersalah karena yakin memang belum rezekinya.
Sekadar tidur nyenyak dan tanpa perasaan bersalah masih lebih baik. Namun di sisi lain dengan mengatakan belum rezeki saya, secara implisit bisa diartikan "saya gagal bisnis karena Allah" atau Tuhan menjadi tersangka atas kesalahan yang kita buat. Siapkah kita berhadapan dengan Allah jika selalu menyalahkan-Nya atas kegagalan pribadi?
Nasihat serupa sering terdengar terkait fenomena jodoh. "Kalau jodoh nggak kemana" atau "Memang bukan jodoh".
Mencari jodoh ada miripnya dengan upaya pemasaran. Bedanya yang kita promosikan ketika mencari pasangan hidup adalah kualitas diri sendiri. Bagaimana kita bisa meyakinkan calon pasangan bahwa kita adalah calon yang pantas.
Untuk sebagian besar pria, mencari pasangan hidup berarti harus meyakinkan calon bahwa mereka adalah figur pria bertanggung jawab, yang siap melindungi keluarga, dan mampu mencukupi kebutuhan istri dan anak-anak.
Bagi sebagian besar wanita, mencari pasangan hidup berarti harus meyakinkan calon bahwa mereka akan menjadi istri yang bisa mendukung karier suami, tidak menjadi beban, dan berpotensi sebagai ibu yang baik buat anak-anak kelak.
Bedanya dengan marketing, mencari jodoh adalah proses menjual dan membeli dalam satu paket. Kita di satu sisi melakukan branding atas diri sendiri, di sisi lain juga melihat dan menilai calon pasangan apakah memenuhi kriteria. Jadi tentu saja proses mencari jodoh jauh lebih rumit dari sekedar jual beli karena menyangkut komitmen dan
kebahagiaan seumur hidup.
Permasalahannya adalah ketika setiap kali kita gagal mendapatkan jodoh, jika mempercayai nasihat "jodoh tidak kemana" kita tidak akan mengevaluasi dan memperbaiki diri, atau tidak merasa perlu menyesuaikan kriteria.
Menurut saya, Allah menentukan jodoh yang tepat buat mukmin, tapi kita yang memilih. Jika salah pilih itu bukan salah Allah, jika pilihannya tepat, kita wajib mensyukurinya.
Banyak orang yang meninggal di usia tua dalam keadaan lajang. Apakah Allah tidak memberikan jodoh untuk mereka? Tentu saja bukan salah Allah. Coba evaluasi, seberapa kita menyiapkan diri dan berikhtiar. Berapa banyak keputusan yang selama ini diambil ketika seseorang mendekat, atau saat kita merasa ingin melakukan pendekatan, namun kemudian bimbang atau mundur dengan berbagai alasan. Setiap orang bertanggung jawab atas keputusan-keputusan yang dibuat, dan setiap keputusan memiliki konsekuensi yang harus ditanggung.
Nasihat lain yang juga sering sampai ke telinga kita adalah "Tuhan saja memaafkan." seringkali ditujukan kepada pihak yang menjadi korban kesalahan orang lain namun justru dituntut untuk memberi maaf, kalau tidak maka justru terkesan salah.
Saya termasuk orang yang tidak mudah memaafkan orang lain kecuali dia menyertai permintaan maaf dengan komitmen untuk tidak mengulang kesalahan yang sama, atau setidaknya berusaha tidak melakukan kesalahan serupa.
Jika Tuhan jadi patokan, bahkan Tuhan yang maha pemaaf menyediakan tak hanya surga tapi neraka. Itu sebabnya ada penjara dan aturan hukum dalam agama. Karena kadang, untuk menyelesaikan suatu masalah maaf bukanlah jawabannya.
Sama-sama berusaha cermat memilih nasihat yang berseliweran di sekitar agar kita tidak melahap mutlak semua yang ditanamkan. Sebab jika kita tidak bijak memahami nasihat, pada akhirnya kita juga yang menanggung akibat buruknya.
COMMENTS