REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Asma Nadia Setiap kali benak terasa letih oleh figur para pemimpin bangsa yang seharusnya menjadi panutan, namun kemud...
REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Asma Nadia
Setiap kali benak terasa letih oleh figur para pemimpin bangsa yang seharusnya menjadi panutan, namun kemudian mengecewakan, maka saya mengingat masa lalu.
Mengenang Rasulullah, sekaligus khalifah yang hingga belasan abad kepergiannya, masih tetap dicintai, juga sosok-sosok pemimpin yang mencontoh beliau. Salah satunya saya susuri jejaknya saat pesawat yang membawa saya dari Athena mendarat di Istanbul.
Muhammad al-Fatih, sosok yang sejak kanak-kanak telah ditanamkan impian menaklukkan Konstantinopel. Gurunya, selain mengajarkan Islam dan berbagai ilmu pengetahuan lain, rajin mengajak Al-Fatih kecil memandangi benteng Konstantinopel di kejauhan, sambil berkata, “Lihatlah di seberang sana, Rasulullah pernah bersabda bahwa benteng itu akan ditaklukkan seorang pemimpin yang merupakan sebaik-baiknya pemimpin dan tentaranya adalah sebaik-baiknya tentara. Saya percaya, pemimpin itu adalah kamu.”
Nyaris setiap hari kalimat itu diulang. Menumbuhkan keyakinan dan semangat. Meski 800 tahun sejak masa para sahabat, Konstantinopel tidak pernah tertaklukkan. Kota ini dilindungi benteng dengan dinding setebal 10 meter. Di sekeliling benteng masih terdapat parit selebar 7 meter.
Jika diserang lewat Barat maka ada benteng dua lapis. Dari Selatan ada pelaut Genoa yang kuat dan berpengalaman. Sementara masuk dari arah Timur nyaris tidak mungkin karena armada laut harus masuk ke selat sempit Golden Horn yang dilindungi rantai besar hingga kapal perang ukuran kecil pun tak bisa lewat. Ayah, kakek, pendeknya banyak pihak sebelumnya gagal menaklukkan kota ini. Lalu bagaimana mungkin Al-Fatih berhasil?
Ketika ratusan ribu pasukannya selama berpekan-pekan tidak juga berhasil menaklukkan Konstantinopel, Al-Fatih yang tak ingin menyerah akhirnya menemukan kelemahan pertahanan lawan di selat sempit Golden Horn. Karena terlalu yakin tidak ada kapal yang sanggup melewati rantai yang dipasang di lautan, pertahanan di bagian ini agak lemah.
Al-Fatih memerintahkan pasukannya menarik dan menggotong kapal mereka melalui jalan darat, melewati pegunungan. Dalam semalam 70 kapal laut pindah dari selat Bosphorus menuju selat Tanduk, untuk kemudian melancarkan serangan tidak terduga yang berakhir dengan kemenangan yang dinanti berabad-abad.
Ada banyak catatan di balik kesuksesan tersebut. Selain impian yang ditanamkan sejak kecil, pola asuh yang diterapkan sang ayah berpengaruh kuat sehingga tertanam dalam dirinya tekad untuk menaklukkan benteng yang menjadi kunci penyebaran Islam di Eropa timur.
Sang ayah mencarikan guru terbaik dan memberi kekuasaan sang guru untuk mendispilinkan putra mahkota, bahkan otoritas untuk memukul jika melawan.
Ketika sang guru menyampaikan izin memukul dari Sang Sultan, Fatih kecil menertawakan, namun saat itu juga sang guru memukulnya. Sejak itu Al-Fatih tahu, ia harus disipilin, menghormati orang dan menjaga sikap, sekalipun ayahnya seorang raja. Pendidikan ini membuat Fatih muda menguasi banyak ilmu. Ia menguasai enam bahasa, ilmu militer, pemerintahan, matematika, pengetahuan alam, dan berbagai ilmu lain. Saat menjabat sultan di usia 19 tahun, ia sudah menjadi pribadi matang, dan di usia 21 tahun ia menjalankan misi pembebasan Konstantinopel yang berhasil gemilang.
Kekuatan lain adalah iman. Kedekatan sang sultan dan pasukannya kepada Allah merupakan kunci keberhasilan. Ketika mereka mengangkat kapal satu persatu, seluruh pasukan bertakbir dan takbir mereka menggema sampai digambarkan seperti suara langit akan runtuh. Ada kisah menarik ketika pasukan akhirnya berhasil menguasai Konstantinopel. Saat itu hari Jumat. Untuk menentukan siapa yang pantas mengisi khutbah dan menjadi imam shalat, sang Sultan bertanya, “Siapakah yang sejak akhil baligh hingga hari ini pernah meninggalkan shalat wajib lima waktu, silakan duduk!”
Tak seorang pun duduk. Lalu Muhammad al-Fatih kembali bertanya, “Siapa yang sejak baligh hingga hari ini pernah meninggalkan shalat sunah rawatib? Silakan duduk!” Sebagian pasukan ada yang mulai duduk. Muhammad al-Fatih kembali bertanya, “Siapa yang sejak baligh sampai hari ini pernah meninggalkan shalat tahajud di kesunyian malam? Silakan duduk!” Satu persatu tentara duduk, hingga akhirnya hanya tinggal seorang saja yang tetap tegak berdiri. Dialah Sultan Muhammad al-Fatih. Wajar jika Rasulullah menggambarkannya sebagai pemimpin terbaik dengan pasukan terbaik.
Di tengah dengung berita korupsi yang makin marak oleh orang-orang yang seharusnya mengemong dan memprioritaskan nasib rakyat, di tengah runtuhnya moral, kasus narkoba dan berbagai ujian lain yang menerpa bangsa ini, semoga bukan impian untuk berharap suatu hari, sosok jernih serupa Al-Fatih akan muncul dan mengantar umat yang besar ini pada kegemilangan karena iman.
Setiap kali benak terasa letih oleh figur para pemimpin bangsa yang seharusnya menjadi panutan, namun kemudian mengecewakan, maka saya mengingat masa lalu.
Mengenang Rasulullah, sekaligus khalifah yang hingga belasan abad kepergiannya, masih tetap dicintai, juga sosok-sosok pemimpin yang mencontoh beliau. Salah satunya saya susuri jejaknya saat pesawat yang membawa saya dari Athena mendarat di Istanbul.
Muhammad al-Fatih, sosok yang sejak kanak-kanak telah ditanamkan impian menaklukkan Konstantinopel. Gurunya, selain mengajarkan Islam dan berbagai ilmu pengetahuan lain, rajin mengajak Al-Fatih kecil memandangi benteng Konstantinopel di kejauhan, sambil berkata, “Lihatlah di seberang sana, Rasulullah pernah bersabda bahwa benteng itu akan ditaklukkan seorang pemimpin yang merupakan sebaik-baiknya pemimpin dan tentaranya adalah sebaik-baiknya tentara. Saya percaya, pemimpin itu adalah kamu.”
Nyaris setiap hari kalimat itu diulang. Menumbuhkan keyakinan dan semangat. Meski 800 tahun sejak masa para sahabat, Konstantinopel tidak pernah tertaklukkan. Kota ini dilindungi benteng dengan dinding setebal 10 meter. Di sekeliling benteng masih terdapat parit selebar 7 meter.
Jika diserang lewat Barat maka ada benteng dua lapis. Dari Selatan ada pelaut Genoa yang kuat dan berpengalaman. Sementara masuk dari arah Timur nyaris tidak mungkin karena armada laut harus masuk ke selat sempit Golden Horn yang dilindungi rantai besar hingga kapal perang ukuran kecil pun tak bisa lewat. Ayah, kakek, pendeknya banyak pihak sebelumnya gagal menaklukkan kota ini. Lalu bagaimana mungkin Al-Fatih berhasil?
Ketika ratusan ribu pasukannya selama berpekan-pekan tidak juga berhasil menaklukkan Konstantinopel, Al-Fatih yang tak ingin menyerah akhirnya menemukan kelemahan pertahanan lawan di selat sempit Golden Horn. Karena terlalu yakin tidak ada kapal yang sanggup melewati rantai yang dipasang di lautan, pertahanan di bagian ini agak lemah.
Al-Fatih memerintahkan pasukannya menarik dan menggotong kapal mereka melalui jalan darat, melewati pegunungan. Dalam semalam 70 kapal laut pindah dari selat Bosphorus menuju selat Tanduk, untuk kemudian melancarkan serangan tidak terduga yang berakhir dengan kemenangan yang dinanti berabad-abad.
Ada banyak catatan di balik kesuksesan tersebut. Selain impian yang ditanamkan sejak kecil, pola asuh yang diterapkan sang ayah berpengaruh kuat sehingga tertanam dalam dirinya tekad untuk menaklukkan benteng yang menjadi kunci penyebaran Islam di Eropa timur.
Sang ayah mencarikan guru terbaik dan memberi kekuasaan sang guru untuk mendispilinkan putra mahkota, bahkan otoritas untuk memukul jika melawan.
Ketika sang guru menyampaikan izin memukul dari Sang Sultan, Fatih kecil menertawakan, namun saat itu juga sang guru memukulnya. Sejak itu Al-Fatih tahu, ia harus disipilin, menghormati orang dan menjaga sikap, sekalipun ayahnya seorang raja. Pendidikan ini membuat Fatih muda menguasi banyak ilmu. Ia menguasai enam bahasa, ilmu militer, pemerintahan, matematika, pengetahuan alam, dan berbagai ilmu lain. Saat menjabat sultan di usia 19 tahun, ia sudah menjadi pribadi matang, dan di usia 21 tahun ia menjalankan misi pembebasan Konstantinopel yang berhasil gemilang.
Kekuatan lain adalah iman. Kedekatan sang sultan dan pasukannya kepada Allah merupakan kunci keberhasilan. Ketika mereka mengangkat kapal satu persatu, seluruh pasukan bertakbir dan takbir mereka menggema sampai digambarkan seperti suara langit akan runtuh. Ada kisah menarik ketika pasukan akhirnya berhasil menguasai Konstantinopel. Saat itu hari Jumat. Untuk menentukan siapa yang pantas mengisi khutbah dan menjadi imam shalat, sang Sultan bertanya, “Siapakah yang sejak akhil baligh hingga hari ini pernah meninggalkan shalat wajib lima waktu, silakan duduk!”
Tak seorang pun duduk. Lalu Muhammad al-Fatih kembali bertanya, “Siapa yang sejak baligh hingga hari ini pernah meninggalkan shalat sunah rawatib? Silakan duduk!” Sebagian pasukan ada yang mulai duduk. Muhammad al-Fatih kembali bertanya, “Siapa yang sejak baligh sampai hari ini pernah meninggalkan shalat tahajud di kesunyian malam? Silakan duduk!” Satu persatu tentara duduk, hingga akhirnya hanya tinggal seorang saja yang tetap tegak berdiri. Dialah Sultan Muhammad al-Fatih. Wajar jika Rasulullah menggambarkannya sebagai pemimpin terbaik dengan pasukan terbaik.
Di tengah dengung berita korupsi yang makin marak oleh orang-orang yang seharusnya mengemong dan memprioritaskan nasib rakyat, di tengah runtuhnya moral, kasus narkoba dan berbagai ujian lain yang menerpa bangsa ini, semoga bukan impian untuk berharap suatu hari, sosok jernih serupa Al-Fatih akan muncul dan mengantar umat yang besar ini pada kegemilangan karena iman.
COMMENTS