REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Asma Nadia Menjelang Ramadhan tahun ini, sahabat-sahabat pembaca bertanya melalui media sosial, "Kapan saya ...
REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Asma Nadia
Menjelang Ramadhan tahun ini, sahabat-sahabat pembaca bertanya melalui media sosial, "Kapan saya dan keluarga mulai berpuasa?" Tergelitik oleh keingintahuan untuk memahami bagaimana sebagian masyarakat mengambil rujukan, saya mengembalikan pertanyaan itu kepada mereka, "Kapan mulai puasa? Alasannya?" Mengingat perbedaan menentukan awal Ramadhan, rasanya terjadi hampir setiap tahun di Tanah Air tercinta.
Ternyata jawaban yang saya terima sangat variatif, tetapi menarik, khususnya melihat anak-anak, remaja, dan keluarga muda berpihak. Ada yang menunjukkan kebingungan dan menjawab tidak tahu. Ada pula yang berusaha menghitung-hitung sendiri dengan "ilmu hisabnya". "Hasil hitunganku lebih parah. Jawabannya selisih seminggu lebih awal! Sekarang ikut ulil amri deh," beberapa menanggapi dengan canda.
"Puasa itu pastinya satu Ramadhan." "Untuk Ramadhan yang penting puasanya dari imsak sampai Maghrib." Sedangkan, pembaca lain berkomentar, "Saya masih anak-anak, jadi bergantung pada orang tua!" "Mulai puasa Sabtu, selain ikut pemerintah, juga karena taat pada suami." "Ikut pemerintah. Jadi, jika salah, pemerintah yang menanggung dosanya." Selain komentar-komentar singkat, ada juga yang sedikit menambah penjelasan dan menutupnya dengan pernyataan damai.
"Alhamdulillah saya puasa Jumat. Menurut saya, sebanyak apa pun orang yang belum melihat hilal, tetapi jika ada satu yang sudah melihat dan sudah disumpah, tetap menang yang satu tadi. Ini alasan saya. Bukan mau memprovokasi, ya." Tidak hanya menjelang Ramadhan, dalam kehidupan, kenyataannya perbedaan pendapat sering tidak bisa dihindari. Tak hanya saat ini, tetapi juga terjadi pada masa Rasulullah SAW.
Seperti kisah dua orang yang sedang bepergian. Di tengah perjalanan, keduanya tidak menemukan air, padahal waktu shalat sudah tiba. Akhirnya keduanya bertayamum dan kemudian melakukan shalat. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan. Tetapi, belum begitu jauh melangkah, keduanya melihat air. Lalu, salah seorang berwudhu dan mengulangi shalatnya sedangkan yang lain tidak melakukannya.
Begitu bertemu Rasulullah, keduanya langsung menceritakan hal tersebut. Kemudian, beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya, "Kamu benar, shalatmu mendapat pahala." Setelah itu beliau berkata kepada orang yang berwudhu dan mengulangi shalatnya, "Kamu mendapat dua pahala." Ada beberapa hal yang bisa dipetik. Pertama, kisah tersebut menunjukkan bahwa pada zaman Nabi perbedaaan pendapat juga terjadi, tetapi luntur karena semua kemudian bisa merujuk kepada Rasulullah.
Ternyata jawaban yang saya terima sangat variatif, tetapi menarik, khususnya melihat anak-anak, remaja, dan keluarga muda berpihak. Ada yang menunjukkan kebingungan dan menjawab tidak tahu. Ada pula yang berusaha menghitung-hitung sendiri dengan "ilmu hisabnya". "Hasil hitunganku lebih parah. Jawabannya selisih seminggu lebih awal! Sekarang ikut ulil amri deh," beberapa menanggapi dengan canda.
"Puasa itu pastinya satu Ramadhan." "Untuk Ramadhan yang penting puasanya dari imsak sampai Maghrib." Sedangkan, pembaca lain berkomentar, "Saya masih anak-anak, jadi bergantung pada orang tua!" "Mulai puasa Sabtu, selain ikut pemerintah, juga karena taat pada suami." "Ikut pemerintah. Jadi, jika salah, pemerintah yang menanggung dosanya." Selain komentar-komentar singkat, ada juga yang sedikit menambah penjelasan dan menutupnya dengan pernyataan damai.
"Alhamdulillah saya puasa Jumat. Menurut saya, sebanyak apa pun orang yang belum melihat hilal, tetapi jika ada satu yang sudah melihat dan sudah disumpah, tetap menang yang satu tadi. Ini alasan saya. Bukan mau memprovokasi, ya." Tidak hanya menjelang Ramadhan, dalam kehidupan, kenyataannya perbedaan pendapat sering tidak bisa dihindari. Tak hanya saat ini, tetapi juga terjadi pada masa Rasulullah SAW.
Seperti kisah dua orang yang sedang bepergian. Di tengah perjalanan, keduanya tidak menemukan air, padahal waktu shalat sudah tiba. Akhirnya keduanya bertayamum dan kemudian melakukan shalat. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan. Tetapi, belum begitu jauh melangkah, keduanya melihat air. Lalu, salah seorang berwudhu dan mengulangi shalatnya sedangkan yang lain tidak melakukannya.
Begitu bertemu Rasulullah, keduanya langsung menceritakan hal tersebut. Kemudian, beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya, "Kamu benar, shalatmu mendapat pahala." Setelah itu beliau berkata kepada orang yang berwudhu dan mengulangi shalatnya, "Kamu mendapat dua pahala." Ada beberapa hal yang bisa dipetik. Pertama, kisah tersebut menunjukkan bahwa pada zaman Nabi perbedaaan pendapat juga terjadi, tetapi luntur karena semua kemudian bisa merujuk kepada Rasulullah.
Dan, Rasulullah ma'sum atau terjaga dari kesalahan sebab Allah yang akan langsung meluruskan. Ada banyak riwayat tentang ini. Kedua, fakta bahwa jika terjadi perbedaan pendapat, bisa saja kedua pendapat itu bukan yang satu salah dan yang lainnya benar, melainkan terbuka kemungkinan keduanya benar dan sama-sama mendapatkan kebaikan dari Allah. Kembali ke masalah perbedaan masyarakat mengawali Ramadhan, sebagai masyarakat awam tentu kita sulit mengatakan siapa yang benar.
Kita hanya mampu mengikuti ijtihad ulama atau manut pada ketetapan pemerintah. Tetapi, ada tiga pihak yang jelas salah, yaitu mereka yang Muslim tetapi tidak berpuasa, mereka yang memutuskan tanpa landasan dan sekadar ingin nyaman sendiri dengan prinsip, berpuasa paling akhir tetapi Lebaran paling awal dan merasa yang menjadikan perbedaan ini sebagai alasan untuk memicu dan meruncingkan perselisihan.
Persoalan kapan awal puasa sudah berlalu, tapi semangat kebersamaan dalam perbedaan harus selalu terjaga. Ramadhan tiba, waktunya menata diri dan berharap semoga Allah memberikan kekuatan tak hanya fisik, juga hati untuk mengoptimalkan setiap detik yang pergi pada bulan yang salah satu malamnya lebih baik dari seribu bulan. Ramadhan karim ketika malaikat terus-menerus memohonkan ampunan dosa bagi kita yang berpuasa hingga berbuka.
Kita hanya mampu mengikuti ijtihad ulama atau manut pada ketetapan pemerintah. Tetapi, ada tiga pihak yang jelas salah, yaitu mereka yang Muslim tetapi tidak berpuasa, mereka yang memutuskan tanpa landasan dan sekadar ingin nyaman sendiri dengan prinsip, berpuasa paling akhir tetapi Lebaran paling awal dan merasa yang menjadikan perbedaan ini sebagai alasan untuk memicu dan meruncingkan perselisihan.
Persoalan kapan awal puasa sudah berlalu, tapi semangat kebersamaan dalam perbedaan harus selalu terjaga. Ramadhan tiba, waktunya menata diri dan berharap semoga Allah memberikan kekuatan tak hanya fisik, juga hati untuk mengoptimalkan setiap detik yang pergi pada bulan yang salah satu malamnya lebih baik dari seribu bulan. Ramadhan karim ketika malaikat terus-menerus memohonkan ampunan dosa bagi kita yang berpuasa hingga berbuka.
COMMENTS