Oleh: Asma Nadia Sejak pulang dari Amerika, beberapa pekan lalu, Herman sahabat masa kecil saya tampak sedih. Berbagai keberhasilan dan p...
Oleh: Asma Nadia
Sejak pulang dari
Amerika, beberapa pekan lalu, Herman sahabat masa kecil saya tampak sedih.
Berbagai keberhasilan dan pencapaian membanggakan yang diperolehnya selama di
sana, seolah tidak membuatnya bahagia.
Ketika kami berdialog,
ditemani istrinya, Herman lalu membuka cerita. Pertama dia menanyakan apa yang
saya bayangkan ketika mendengar Negara AmerikaSerikat.
Nilai dolar yang melambung, spontan membawa angan saya pada sebuah Negara maju, yang
ketika itu belum lagi saya kunjungi. Terbayang gedung-gedung pencakar langit,
kemajuan industri di berbagai bidang, gadget, mobil, pesawat dan persenjataan
yang semua mutakhir.
Tetapi dengan suara
berat lelaki itu bercerita pemandangan berbeda yang menyapanya ketika tiba. “Saya bersyukur, saat itu mendarat di sudut lain Amerika.”
Lalu mengalirlah cerita
betapa luas lahan hijau yang menyapa matanya. Juga perkebunan jagung yang
terhampar dimana-mana. Lelaki itu kemudian mengetahui kepedulian besar
pemerintah terhadap pertanian. Amerika Serikat ternyata merupakan pengekspor
jagung terbesar. Sebanyak 50.1% jagung di dunia
berasal dari Negara ini. Tidak hanya jagung, Amerika juga pengekspor terbesar
untuk kedelai atau menguasai sekitar 50.5% ekspor dunia, selain termasuk eksportir gandum
terbesar.
Awalnya tak mudah bagi
saya mencerna, sebab penjelasan Herman kontras dengan bayangan yang sudah
terbentuk. Amerika yang kuat teknologi dan industri ternyata tidak melupakan
akar kehidupan lain yang esensial yaitu pertanian. Kita butuh pangan, dan pangan
berarti pertanian atau peternakan.
Didorong rasa ingin
tahu, Herman mencoba mencari data lebih lanjut. Jika Amerika merupakan Negara
pengekpor agricultural terbesar di dunia, lalu Negara-negara manakah yang menduduki peringkat eksportir terbesar
kedua, ketiga dst-nya?
Data yang kemudian
diperoleh, justru membuat Herman semakin tertegun sebab Negara kedua pengekspor
hasil pertanian terbesar di dunia adalah Belanda. Negeri kincir angin yang
kekurangan tanah hingga berkali-kali harus membendung lautan.
“Negara ketiga eksportir
agrarian terbesar adalah Jerman.” lanjut Herman tanpa
diminta.
Lagi, saya terpana.
Jerman dimata saya adalah Negara yang terkenal sebagai produsen mobil mewah, alat industri, berbagai mesin
berteknologi tinggi. Sungguh luar biasa bahwa mereka juga kampiun di bidang pangan. Tidak hanya
memenuhi kebutuhan rakyat, bahkan masuk dalam tiga Negara eksportir terbesar.
“Perancis yang juga
merupakan Negara maju di Eropa menduduki tempat keempat.” Jelas Herman tanpa saya minta.
Bagaimana mungkin
Negara-negara yang unggul secara teknologi masih juga tertarik dengan industri
pangan? Batin saya. Teringat Jepang, Negri sakura di mana tanah begitu
mahal, dan meski dengan mudah bisa
mengimpor kebutuhan pangan dari luar negeri, pemerintahnya tetap ngotot berswasembada.
“Negara-negara kuat dan
besar saja menyadari bahwa ketahanan pangan pada akhirnya akan menjadi
ketahanan Negara.”
Saya membenarkan.
Ketahanan pangan berarti kemandirian. Dengan kuatnya pertanian, sebuah Negara
akan lebih mampu bertahan jika terjadi ketidakstabilan ekonomi dunia, perang,
bencana alam, atau sesuatu yang tidak diinginkan.
“Nadia, apa yang salah
dengan tanah air kita?”
Pertanyaan itu
berdengung sepanjang perjalanan saya pulang.
Ya, di manakah posisi
Indonesia sebagai negeri yang subur dan makmur namun terkesan abai terhadap
industri pangan?
Indonesia masih
mengimpor beras, sekali swasembada, tapi tak lama mengimpor lagi. Baru-baru ini
masyarakat bahkan kesulitan mencari tempe, akibat krisis kacang kedelai. Harga
kedelai melambung tinggi terimbas meroketnya dolar. Maklum, sebagian besar
kedelai kita diimpor dari Amerika. Sebagian lagi dari Kanada, Ukraina, Malaysia
dan Cina. Lucunya, Cina sendiri mengimpor kedelai dari Brazil, tapi malah bisa
mengekspor ke Indonesia.
Padahal, apa yang tidak
kita punyai? Indonesia memiliki 17.480 pulau, 4.000
pulau di antaranya bahkan belum sempat diberi nama. Jangankan memaksimalkan
pemanfaatannya, memberi nama saja tak sempat.
Bicara soal kesuburan
lahan, angan saya terbawa salah satu lirik lagu Koes ploes.
"Orang bilang tanah kita tanah surga –Tongkat kayu dan batu jadi tanaman."
Allah telah
mengaruniai Indonesia tanah surga, tapi
apa gunanya jika kita tidak menanami dan menggarapnya dengan optimal?
Ada yang salah dengan
visi bangsa ini, menurut Herman. Saya setuju. Kesedihan lelaki itu kini
sepenuhnya saya mengerti. Fakta-fakta di atas pasti mengusik siapa saja,
apalagi bagi Herman, anak tani yang kemudian menjadi sarjana pertanian.
Di luar pertanian, ada
data lain yang ‘memalukan’. Sebagai Negara maritim
terbesar, yang memiliki pantai terpanjang keempat di dunia, ternyata Indonesia
masih harus mengimpor garam dari Singapura. Negara kecil yang besarnya sama
sekali tak sepadan dibanding belasan ribu pulau yang kita miliki.
Seperti
Herman dan segenap rakyat lain, saya berharap kelak tanah surga kita bisa
memiliki visi yang benar. Visi yang tak hanya dibuat tetapi juga terjaga oleh sikap patriotik, kecintaan
terhadap tanah air, hingga terhindar
dari godaan untuk mencari keuntungan-keuntungan pribadi, yang selamanya
menerbangkan Indonesia, kian jauh dari menjadi
Negara mandiri.
COMMENTS