Oleh: Isa Alamsyah Salah satu kelemahan penulis pemula adalah miskinnya diksi atau pemilihan kata. Seringkali kita terpukau dengan tulisan...
Oleh: Isa Alamsyah
Salah satu kelemahan penulis pemula adalah miskinnya diksi atau pemilihan kata.
Seringkali kita terpukau dengan tulisan para sastrawan dan merasa mereka begitu piawai merangkai kata.
Sesuatu yang sulit ditemukan pada tulisan para pemula.
Apa yang membedakan?
Salah satunya adalah kelebihan para sastrawan dan penulis profesional adalah kejeniusan mereka memilih diksi.
Sederhananya diksi itu adalah pilihan kata, yang menurut kita paling tepat, representatif dan impresif, dari berbagai pilihan yang ada.
Saya akan memberi contoh.
Pada kalender Jilbab Traveler 2013, bulan Februari Asma Nadia menulis kalimat motivasi:
"Jilbab bukan hambatan bagi muslimah untuk mengembara di bumi-Nya yang luas"
Di mana diksi Asma Nadia bermain?
Di kata 'mengembara'.
Penulis biasa akan memilih kata berjalan-jalan, bepergian, berkeliling, dll.
Tapi Asma Nadia memilih kata 'mengembara' dan saya merasa itu adalah pilihan kata paling tepat. Kata 'mengembara' memberi nilai kemandirian, petualangan dan lebih nyastra.
Pada kalender yang sama, bulan Januari Asma Nadia menulis kalimat motivasi:
"Jilbab biarkan orang lain mencuri mimpimu"
Di mana diksi Asma Nadia bermain?
Di kata 'mencuri'.
Penulis biasa akan memilih kata menghambat, menghalangi, dll.
Tapi Asma Nadia memilih kata 'mencuri' dan saya sekali lagi mendukung itu adalah pilihan kata paling tepat. Kata 'mencuri' memberi nilai bahwa impian adalah hak setiap orang dan orang yang menghambat impian orang lain sama dengan mencuri hak mereka.
Asma memilih kalimat motivasi ini di bulan Januari sebagai pesan bahwa seluruh gambar yang ditampilkan pada kalender adalah simbol impian yang harus dikerjar.
Pada level yang lebih tinggi, pemilihan kata (diksi) bisa melampaui makna biasa.
Helvi Tiana Rosa, pada workshop menulis seringkali mencontohkan seorang sastrawan yang memilih kata merangkak untuk menggambarkan angin
"Angin merangkak masuk ke dalam kamarku..."
Itu diksi.
Orang umumnya mengatakan angin berhembus atau bertiup, tapi ia memilih merangkak.
Pada level tertentu, seorang penulis bebas memilih kata apapun. Tapi di sisi lain jika tidak tepat, mereka bisa dihujat atau dianggap tidak mengerti bahasa.
Di situ justru kelihatan siapa yang benar-benar menemukan diksi yang tepat dan yang sekedar mencari sensasi.
Pernah suatu saat Asma Nadia 'menegur' twit seorang pengusaha yang mengatakan
'Saya baru saja membakar anak-anak yatim'
Menurut Asma itu kurang sopan, terkesan kasar, apalagi obyeknya adalah anak yatim yang inferior dan lemah.
Sekalipun Asma Nadia sendiri tahu bahwa yang dimaksud pasti membakar semangat anak yatim, penulis yang terpilih sebagai tokoh perubahan Republika 2010 ini tetap merasa kurang pas.
Kebetulan si pentwit adalah pengusaha ayam bakar, jadi kesannya jadi lain.
Setelah mendapat cc dari penulis wanita best seller ini, akhirnya si pen-twit mengatakan lupa memberi tanda kutip pada kata "membakar" sebagai simbol bukan kata membakar sebagai makna asli.
Tapi tetap saja pemilihan kata membakar ini menjadi 'pertanyaan'.
Seandainya saja twit tersebut diganti 'saya baru saja membakar para menteri' dengan maksud sama, apakah pantas? Kalau ke menteri tidak sopan, ke anak yatim juga tidak sopan. Bagaimana menurut Anda?
Jadi diksi kadang juga menimbulkan masalah, karena itu kita harus benar-benar piawai bermain dengan diksi.
Kesimpulannya, diksi atau pemilihan akan membuat sebuah tulisan lebih berbobot, tapi jangan asal pilih kata sekedar cari sensasi.
Kita harus berani bereksplorasi, ambil risiko untuk sebuah tulisan yang bagus, memilih kata kata yang unik, tepat tapi inspiratif.
Berani coba?
COMMENTS