REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asma Nadia Dua kata yang menjadi judul di atas, terinspirasi dialog dengan seorang supir taksi yang memarkir kendaraa...
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asma Nadia
Dua kata yang menjadi judul di atas, terinspirasi dialog dengan seorang supir taksi yang memarkir kendaraannya tepat di belakang pos aparat yang berposisi di jalur hijau. Aneh, karena seharusnya di jalur hijau tidak boleh ada mobil parkir. Lalu, bagaimana bisa taksi tersebut justru ngetem di tempat yang seharusnya terlarang itu?
"Kok boleh?" tanya saya tak bisa menahan penasaran.
"Bayar setoran setiap bulan!" jawab sang supir lugas.
Awalnya saya menduga pasti bayarannya mahal, karena sedikit banyak hal ini menyangkut nama baik korp dan harga diri si pelakunya.
Dua kata yang menjadi judul di atas, terinspirasi dialog dengan seorang supir taksi yang memarkir kendaraannya tepat di belakang pos aparat yang berposisi di jalur hijau. Aneh, karena seharusnya di jalur hijau tidak boleh ada mobil parkir. Lalu, bagaimana bisa taksi tersebut justru ngetem di tempat yang seharusnya terlarang itu?
"Kok boleh?" tanya saya tak bisa menahan penasaran.
"Bayar setoran setiap bulan!" jawab sang supir lugas.
Awalnya saya menduga pasti bayarannya mahal, karena sedikit banyak hal ini menyangkut nama baik korp dan harga diri si pelakunya.
"Berapa?" tanya saya masih penasaran.
"Dua puluh ribu!"
Saya kaget, merasa cukup mahal jika mereka harus membayar Rp 20 ribu setiap hari padahal sewa yang didapat dari menunggu di sana mungkin tidak akan menutup biaya 'sewa tempat'.
Tapi kekagetan saya bertambah begitu sang supir menjelaskan ternyata Rp 20 ribu yang mereka bayarkan bukan untuk perhari melainkan perbulan. Murah sekali.
Namun supir taksi itu lalu memberi hitungan yang cukup masuk akal, "Saya memang cuma membayar 20 ribu sebulan, tapi kan taksi yang ada di sana bukan milik saya saja. Ada 40 sampai 50 taksi lain yang bergantian ngetem. Kalau setiap taksi membayar berarti kurang lebih sejuta sudah di tangan. Kalau yang jaga di pos cuma dua orang, berarti ada tambahan penghasilan 500 ribu, nggak kecil juga!"
Ah, ‘optimisme negatif’ rupanya, cetus saya dalam hati.
Benar uang yang ‘disetor’ si sopir taksi terbilang kecil, tapi sang oknum petugas punya optimisme. Dia tidak melihat nilai 20 ribunya, melainkan puluhan mobil lain yang parkir, dan jika dihitung-hitung mempunyai nilai ekonomis lumayan besar.
Kalau sang oknum menerapkan ‘pajak’ 50 ribu per bulan menjadi terlalu mahal, dan menurut perhitungan, taksi yang mangkal mungkin akan sedikit, sehingga hasil yang didapat juga lebih minim.
Sebuah kalkulasi yang hebat butuh optimisme, sayangnya diterapkan dalam pungli atau pungutan liar yang tidak lain bagian dari korupsi.
Lalu dimana kerugian negara? Ini sulitnya. Negara tidak dirugikan langsung secara material. Tapi jelas image aparat sebagai sosok yang seharusnya dihormati rusak dan akibatnya biaya perbaikan serta pembenahannya menjadi mahal hingga membebani negara.
Kejadian ini membawa ingatan saya akan masa kecil, ketika pergi ke puncak. Saat itu saya melihat sendiri sopir truk memasukkan uang loga atau lembaran uang kertas ke dalam kotak korek api lalu melemparkannya ke jalan untuk dipungut oknum lalu lintas.
Ketika kecil pun, pada usia sekolah dasar, saya merasa apa yang dilakukan para sopir itu sangat melecehkan. Masa si oknum petugas dikasih uang segitu, mau?
Ternyata sang supir mengungkapkan hal senada, "Jangan lihat nilainya. Sekalipun hanya seribu perak tapi tak terhitung berapa banyak tikungan. Saya bisa melempar ke belasan bahkan puluhan “aparat” di banyak tikungan. Jadi biaya saya juga besar. “Aparat”nya juga jangan dilihat cuma terima seribu rupiah. Ada ratusan truk yang melempar dan kalau dijumlahkan cukup besar juga hasilnya."
Sekali lagi saya melihat, betapa sebuah optimisme jika diterapkan secara negatif akan menimbulkan akibat yang sama buruknya dengan sebuah sistem yang baik namun dikerjakan dengan niat yang buruk. Kesalahan yang terjadi akan terus berulang dan berulang.
Optimisme diajarkan dalam Islam tapi untuk diterapkan dalam kebaikan dan bukan keburukan. Bahkan Rasulullah bersabda, amal yang sedikit tapi rutin lebih baik daripada yang banyak tapi tidak rutin.
Saatnya meluruskan dan menerapkan kembali semangat optimisme ini dengan kacamata sebenarnya, hingga menebarkan warna yang positif.
Saya kaget, merasa cukup mahal jika mereka harus membayar Rp 20 ribu setiap hari padahal sewa yang didapat dari menunggu di sana mungkin tidak akan menutup biaya 'sewa tempat'.
Tapi kekagetan saya bertambah begitu sang supir menjelaskan ternyata Rp 20 ribu yang mereka bayarkan bukan untuk perhari melainkan perbulan. Murah sekali.
Namun supir taksi itu lalu memberi hitungan yang cukup masuk akal, "Saya memang cuma membayar 20 ribu sebulan, tapi kan taksi yang ada di sana bukan milik saya saja. Ada 40 sampai 50 taksi lain yang bergantian ngetem. Kalau setiap taksi membayar berarti kurang lebih sejuta sudah di tangan. Kalau yang jaga di pos cuma dua orang, berarti ada tambahan penghasilan 500 ribu, nggak kecil juga!"
Ah, ‘optimisme negatif’ rupanya, cetus saya dalam hati.
Benar uang yang ‘disetor’ si sopir taksi terbilang kecil, tapi sang oknum petugas punya optimisme. Dia tidak melihat nilai 20 ribunya, melainkan puluhan mobil lain yang parkir, dan jika dihitung-hitung mempunyai nilai ekonomis lumayan besar.
Kalau sang oknum menerapkan ‘pajak’ 50 ribu per bulan menjadi terlalu mahal, dan menurut perhitungan, taksi yang mangkal mungkin akan sedikit, sehingga hasil yang didapat juga lebih minim.
Sebuah kalkulasi yang hebat butuh optimisme, sayangnya diterapkan dalam pungli atau pungutan liar yang tidak lain bagian dari korupsi.
Lalu dimana kerugian negara? Ini sulitnya. Negara tidak dirugikan langsung secara material. Tapi jelas image aparat sebagai sosok yang seharusnya dihormati rusak dan akibatnya biaya perbaikan serta pembenahannya menjadi mahal hingga membebani negara.
Kejadian ini membawa ingatan saya akan masa kecil, ketika pergi ke puncak. Saat itu saya melihat sendiri sopir truk memasukkan uang loga atau lembaran uang kertas ke dalam kotak korek api lalu melemparkannya ke jalan untuk dipungut oknum lalu lintas.
Ketika kecil pun, pada usia sekolah dasar, saya merasa apa yang dilakukan para sopir itu sangat melecehkan. Masa si oknum petugas dikasih uang segitu, mau?
Ternyata sang supir mengungkapkan hal senada, "Jangan lihat nilainya. Sekalipun hanya seribu perak tapi tak terhitung berapa banyak tikungan. Saya bisa melempar ke belasan bahkan puluhan “aparat” di banyak tikungan. Jadi biaya saya juga besar. “Aparat”nya juga jangan dilihat cuma terima seribu rupiah. Ada ratusan truk yang melempar dan kalau dijumlahkan cukup besar juga hasilnya."
Sekali lagi saya melihat, betapa sebuah optimisme jika diterapkan secara negatif akan menimbulkan akibat yang sama buruknya dengan sebuah sistem yang baik namun dikerjakan dengan niat yang buruk. Kesalahan yang terjadi akan terus berulang dan berulang.
Optimisme diajarkan dalam Islam tapi untuk diterapkan dalam kebaikan dan bukan keburukan. Bahkan Rasulullah bersabda, amal yang sedikit tapi rutin lebih baik daripada yang banyak tapi tidak rutin.
Saatnya meluruskan dan menerapkan kembali semangat optimisme ini dengan kacamata sebenarnya, hingga menebarkan warna yang positif.
COMMENTS